Rabu, 16 November 2011

Makalah Pancasila Sebagai Dasar Negara

BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang.
Adalah  merupakan  suatu  fakta  historis  yang  sukar  dibantah, bahwa sebelum tanggal  1 Juni 1945 yang disebut sebagai  tanggal  lahirnya Pancasila. Adalah Ir. Soekarno yang diakui sebagai tokoh nasional yang menggali Pancasila tidak pernah berbicara atau menulis tentang Pancasila,  baik sebagai  pandangan hidup  maupun,  atau  apalagi,  sebagai  dasar  negara.  Dalam pidato  yang  beliau sampaikan  tanpa  konsep  pada  tanggal  tersebut,  yang  mendapat  berkali-kali applause dari  para  anggota  Badan  Penyelidik  Usaha-usaha  Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI),  beliau menjelaskan bahwa gagasan tentang Pancasila tersebut terbersit  bagaikan ilham setelah mengadakan renungan pada malam sebelumnya. Renungan itu beliau lakukan untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan  Dr  Radjiman  Wedyodiningrat,  Ketua  BPUPKI,  tentang  apa  dasar negara Indonesia yang akan dibentuk. Lima dasar atau sila yang beliau ajukan itu beliau namakan sebagai filosofische grondslag. Jika  filsafat  bisa  disifatkan  sebagai  upaya  dan  hasil  berfikir  secara mendasar,  logis,  kritis,  sistematis,  komprehensif,  konsisten,  dan  koheren, lazimnya suatu pemikiran filsafat merupakan buah dari proses berfikir yang tekun dan berjangka panjang. Sungguh merupakan suatu  contradictio in terminis jika pidato singkat  yang penuh retorika tersebut dipandang sebagai  suatu pemikiran yang sudah memenuhi  kriteria  berpikir  filsafati,  apalagi  jika kita  ingat  bahwa sampai  berakhirnya masa jabatan kepresidenan beliau pada tahun 1967, belum satu kalipun Ir.  Soekarno menyusun naskah tentang Pancasila yang memenuhi persyaratan epistemologi  filsafat.  Semuanya berbentuk pidato,  sehingga sangat rentan terhadap pengaruh situasional  sewaktu pidato tersebut disampaikan dan terhadap jenis audience yang dihadapi beliau. Akan lebih masuk akal jika retorika Ir. Soekarno tersebut dibaca sebagai kristalisasi dari  keseluruhan  pemikiran  politik  yang  berkembang  dalam perjuangannya,  bersama  dengan  seluruh  pemimpin  pergerakan  kemerdekaan Indonesia,  bukan  hanya  untuk  mendirikan  suatu  negara  yang  bebas  darti penjajahan,  tetapi  juga  untuk  mewujudkan  suatu  masyarakat  yang  adil  dan  makmur. Jelasnya,  relevansi  pidato Lahirnya Pancasila yang bersejarah tersebut akan lebih jernih, jika dibaca dalam kaitannya dengan perjuangan panjang bangsa Indonesia secara menyeluruh, dan bukan sekedar sebagai wujud kepiawaian sesaat dari  seorang  orator  dalam meyakinkan  rekan-rekannya  yang  sedang  bergulat dengan kompleksitas  masalah mendirikan suatu negara  baru pada babak akhir Perang Dunia Kedua. Dengan kata lain, Pancasila sebagai suatu formulasi dasar negara perlu kita pahami  secara historis,  filosofis,  kontekstual,  dan juga secara politis dan institusional, bukan hanya secara tekstual dan juga bukan hanya secara personal belaka. Kalau begitu, lantas apa sesungguhnya dan bagaimana mensifatkan esensi substansi,  maksud  perumusan,  sifat,  status,  serta  kegunaan  Pancasila  yang diterima dengan demikian gegap gempita oleh seluruh  founding fathers Negara kesatuan Republik Indonesia ini.  Mengenai  esensi  substansinya,  kita mungkin dapat  menerima penjelasan Ir.  Soekarno  sendiri,  bahwa  sila-sila  Pancasila  itu  beliau  gali  dari  kehidupan rakyat Indonesia sendiri, dan sebagai insinyur, menuangkan rumusannya ke dalam istilah  aritmetik  sebagai  pembagi  persekutuan  yang  terbesar  (grooste  gemene deler)  yang  dimiliki  oleh  seluruh  rakyat  Indonesia.  Pensifatan  ini  secara konseptual merupakan suatu langkah maju, karena pada tahun 1926, beliau baru sampai pada kesimpulan tentang adanya tiga aliran yang terdapat  bersisian dalam masyarakat  Indonesia,  yang  beliau  sebut  sebagai  “nasionalisme,  islamisme, marxisme“. Tentang  maksud  perumusannya,  selain  sebagai  jawaban  terhadap pertanyaan Dr. Radjiman Wedyodiningrat,  Soekarno sendiri menjelaskan bahwa Pancasila yang bisa diperas menjadi Trisila, dan Trisila bisa diperas lagi menjadi Ekasila, dan esensi Ekasila itu sendiri adalah “gotong royong“ yang dimaksudkan  sebagai dasar untuk mempersatukan seluruh rakyat Indonesia dalam satu Negara yang mendiami  seluruh kepulauan Indonesia,  “satu buat semua dan semua buat satu“.  Dengan kata lain, walaupun Ir.  Soekarno sudah menyebutkan Pancasila sebagai  filosofische  grondslag dalam  pidatonya  pada  tahun  1945,  namun Pancasila pada saat itu sesungguhnya baru merupakan prasaran awal dari seorang tokoh  perjuangan  kemerdekaan,  yang  memuat  tawaran  pokok-pokok  doktrin politik (political doctrine), tentang hubungan antara rakyat dan pemerintah dalam konteks  kenegaraan.  Prasaran  ini  mengalami  penyempurnaan  oleh  Panitia Sembilan yang juga dipimpin oleh Ir. Soekarno, khususnya dalam penamaan dan urutan  sila-silanya,  sebelum  akhirnya  tercantum  dalam  alinea  keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Pancasila jelas lahir sebagai  hasil dari suatu  intellectual  exercise dari Ir. Soekarno,  namun  masih  diperlukan  rangkaian  panjang  elaborasi  yang  lebih mendalam, lebih kritis, lebih sistematis, lebih komprehensif, lebih konsisten dan lebih  koheren,  sebelum  Pancasila  benar-benar  dapat  disebut  sebagai  sebuah filosofi  kenegaraan.  Langkah  ke  arah  itu  sudah  dirintis  oleh  Prof.  Mr.  Drs. Notonagoro dari Universitas Gadjah Mada, yang kemudian disusul oleh rangkaian renungan  dari  para  cendekiawan  Indonesia  lainnya.  Mungkin  tidak  akan berkelebihan jika dikatakan bahwa sesungguhnya sampai sekarangpun Pancasila belum sepenuhnya dapat disebut sebagai sebuah filsafat politik, antara lain oleh karena belum terdapat  koherensi  dan konsistensi  dari lima sila Pancasila,  yang masing-masingnya bukan saja merupakan kategori yang berbeda satu sama lain, tetapi juga belum jelas bagaimana keterkaitannya satu sama lain. Pancasila juga belum dapat sepenuhnya disebut sebagai  ideologi seperti dimaksud oleh Edward Shils,  karena  belum  dapat  dijernihkan  apa  sesungguhnya  core  value dari Pancasila,  sehingga  dalam  tahun-tahun  kemudian  Pancasila  harus  diberi kualifikasi sebagai suatu ideologi terbuka. Tentang sifat dan status Pancasila, jika kita hubungkan dengan himbauan yang  amat  emosional  yang  disampaikan  Ir.  Soekarno  kepada  sidang-sidang BPUPKI agar para anggota BPUPKI menerima kompromi  yang terdapat  dalam rumusan  rancangan  Pembukaan  Undang-Undang  Dasar  1945  tanggal  22  Juni 1945 yang mencantumkan anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi  pemeluk-pemeluknya“  maka sesungguhnya dapat  dikatakan bahwa secara historis Pancasila yang terdapat dalam alinea keempat Pembukaan UndangUndang Dasar 1945 itu adalah merupakan butir-butir political contract, atau lebih tepat  merupakan  suatu  konsensus  nasional tentang  dasar  negara,  dari  para pemimpin perjuangan rakyat Indonesia dalam proses pembentukan negara. Bagaimana cara melaksanakan Pancasila dalam kaitannya dengan empat tugas pemerintah dan dua tujuan nasional  untuk terwujudnya suatu masyarakat yang adil dan makmur sebagai tujuan nasional masih harus dikembangkan dalam ideologi  nasional,  yang  bersifat  terbuka,  yaitu  dibahas,  disepakati,  serta dilaksanakan  berdasar  rangkaian  konsensus  nasional  dari  seluruh  komponen bangsa Indonesia yang besar.
Dengan demikian, walau bermula sebagai  suatu retorika seorang orator besar, Pancasila berkembang sebagai dasar negara dengan  kesepakatan kolektif dan  institusional  para  pendiri  negara,  untuk  kemudian  ditindaklanjuti  dengan ideologi terbuka yang berkembang secara terus menerus. Sehubungan dengan itu, baik secara historis maupun secara ideologis dan politis, Pancasila tidak dapat dan tidak  boleh  dilepaskan  dari  keterkaitannya  dengan  keseluruhan  substansi  dan proses  perumusan  Pembukaan  Undang-Undang  Dasar  1945,  serta  pasal-pasal yang tercantum dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Demikianlah, lima sila Pancasila dalam alinea keempat itu harus terkait langsung dengan empat tugas Pemerintah, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah  Indonesia;  memajukan  kesejahteraan  umum;  mencerdaskan  kehidupan bangsa;  dan  ikut  melaksanakan  ketertiban  dunia  berdasarkan  kemerdekaan, perdamaian  abadi,  dan keadilan sosial.  Keseluruhannya itu berlangsung dalam suatu  negara  Indonesia  yang  merdeka,  bersatu,  berdaulat,  adil  dan  makmur, seperti  tercantum dalam alinea kedua Pembukaan Undang-Undang Dasar  1945. Artinya,  lima  dasar  negara  yang  terdapat  dalam alinea  keempat  Pembukaan Undang-Undang Dasar  1945 tersebut  tidak boleh dilihat  sebagai  sesuatu yang berdiri sendiri.
I.2. Tujuan Penulisan.
Makalah  ini  merupakan  suatu  upaya  awal  yang  sederhana  ke  arah  pengembangan suatu paradigma yang lebih fungsional terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara, dengan harapan agar Pancasila tidak lagi menjadi sekedar mantra sekuler dalam ritual kehidupan bernegara, tetapi benar-benar dapat ditindaklanjuti ke dalam kebijakan nasional oleh dan dalam sistem nasional Indonesia.
I.3. Rumusan Masalah.
Berikut beberapa permasalahan yang saya angkat dalam pembuatan makalah ini :
1.     Bagaimana Reinterpretasi  serta Rekonstruksi  terhadap Pancasila  Sebagai Dasar Negara Melalui Paradigma Fungsional ?
2.     Bagaimanakah keterkaitan antara sila-sila di dalam Pancasila ?
BAB II
PEMBAHASAN
Interpretasi  historis terhadap Pancasila juga harus tetap merujuk kepada seluruh pembicaraan para Pendiri  Negara,  baik dalam BPUPKI  maupun dalam Panitia  Persiapan  Kemerdekaan  Indonesia  (PPKI),  yang  merupakan  travaux preparatoir dari  Undang-Undang  Dasar  1945.  Oleh  karena  itu,  implementasi kenegaraan  dari  Pancasila  sebagai  kontrak politik dan atau sebagai  consensus nasional  dalam pembentukan  negara  harus  tetap  tertuang  melalui  pasal-pasal Undang-Undang  Dasar  1945  serta  dalam  undang-undang  organik  yang melaksanakan pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 tersebut. Sebagai kesepakatan kolektif bangsa Indonesia yang dituangkan ke dalam konstitusi  dan  ditindaklanjuti  secara  berkesimbungan  oleh  seluruh  jajaran Pemerintah, Pancasila perlu dipahami  secara dinamis.  Tidaklah dapat  dihindari, bahwa walaupun rumusan dasar  Pancasila  dan empat  tugas  Pemerintah  dalam alinea keempat  Pembukaan Undang-Undang Dasar  1945 itu tidak akan diubah lagi,  namun akan terdapat  dinamika dalam penjabarannya oleh gelombang demi gelombang administrasi kepresidenan yang melaksanakannya. Kontrak politik dan atau  konsensus  nasional  pertama  yang  amat  mendasar  tersebut  juga  harus dilaksanakan  melalui  rangkaian  konsensus  nasional  berikutnya  secara berkelanjutan. Dalam  hubungan  ini,  satu  dua  catatan  perlu  disampaikan  terhadap perkembangan pemikiran Ir. Soekarno setelah beliau melahirkan Pancasila pada tanggal  1  Juni  1945  tersebut.  Dalam  berbagai  kesempatan,  Ir. Soekarno menyampaikan penjelasan lanjut  mengenai  Pancasila ini,  baik di  dalam negeri maupun dalam berbagai  fora internasional,  baik secara selintas  maupun secara lebih elaborate. Dalam era Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur yang berlangsung sejak tahun 1948 sampai tahun 1989, secara perlahan-lahan retorika Ir.  Soekarno  semakin  lama  semakin  cenderung  kepada  Blok  Timur,  sehingga beliau  pernah  menyifatkan  Pancasila  sebagai  marxisme  yang  diterapkan  di Indonesia, suatu frasa  yang tidak pernah diucapkannya pada tanggal 1 Juni 1945. Dalam gelombang reaksi keras dari masyarakat  yang timbul kemudian terhadap  pembaruan terhadap Pancasila ini, Ir. Soekarno kehilangan kepresidenannya pasca terjadinya  peristiwa  Gerakan  30  September/Partai  Komunis  Indonesia  antara tahun  1965-1967.  Ringkasnya,  setelah  dua  puluh  tahun,  1945-1965,  Pancasila sebagai  Dasar  Negara telah menjadi  miliknya bangsa Indonesia,  dan tidak lagi menjadi copyright Soekarno secara pribadi. Walaupun merupakan tragedi bagi Ir. Soekano sebagai  politikus,  namun fakta  ini  telah  memberi  tempat  yang abadi kepada Ir. Soekarno sebagai negarawan yang sekaligus menjadi Bapak Bangsa.
II.1. Sebuah Reinterpretasi serta Rekonstruksi terhadap Pancasila.
Suatu tantangan sejarah yang dihadapkan kepada generasi sekarang yang  pada suatu sisi masih tetap merujuk kepada Pancasila sebagai dasar negara tetapi pada sisi yang lain masih kebingungan untuk menjabarkan serta mewujudkannya secara  sistematis  serta  melembaga  ke  dalam  kenyataan  adalah  mengadakan reinterpretasi  serta  rekonstruksi,  baik  terhadap  substansi  masing-masing  sila, maupun  terhadap  keterkaitan  antara  satu  sila  dengan  sila  yang  lain  dalam Pancasila. Berikut ini adalah suatu tawaran yang saya tulis, menjelang munculnya tawaran-tawaran lain yang lebih sempurna. Tawaran ini bertitik tolak dari visi bahwa pada dasarnya Pancasila adalah suatu kontrak politik dan atau konsensus nasional  di antara para pendiri Negara yang secara simbolik merepresentasikan kemajemukan seluruh rakyat  Indonesia dalam proses pembentukan sebuah negara nasional  di Indonesia,  yang memuat norma-norma dasar (Grundnorm) tentang kemerdekaan, tujuan negara pernyataan kemerdekaan hubungan antara  unsur-unsur negara,  khususnya hubungan antara rakyat  dengan pemerintah, yang diikat  oleh lima butir dasar negara serta empat tugas pokok pemerintah. Sesuai dengan asas negara hukum, Grundnorm ini harus dijabarkan secara konsisten dan koheren ke dalam konstitusi, ditindaklanjuti dalam undang-undang serta  kebijakan  pemerintahan,  dan  dilaksanakan  oleh  seluruh  aparatur penyelenggara  negara  di  bawah pimpinan  presiden.  Sesuai  dengan  azas kedaulatan  rakyat,  dalam penjabaran,  penindaklanjutan  serta  pelaksanaannya, seluruh  kalangan  dan  lapisan  rakyat  Indonesia,  baik  yang  hidup  di  kota-kota maupun yang tinggal di desa-desa yang jauh, berhak untuk ikut serta dan didengar suara, aspirasi, dan kepentingannya, dalam pola free, prior, and informed consent (FPIC).  Rakyat  Indonesia tidak boleh lagi  diperlakukan sebagai  sekedar  obyek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sesuai  dengan titik tolak di  atas,  dan setelah benar-benar  merenungkan substansi  serta  fungsi  masing-masing  sila,  dan mengaitkannya  dengan perkembangan  pemikiran  kenegaraan  dewasa  ini,  termasuk  tentang  hak  asasi manusia, saya berkesimpulan bahwa kita dapat menindaklanjuti Pancasila tersebut secara kelembagaan dan secara operasional dalam struktur dan proses kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagai berikut. Pertama-tama perlu kita sadari bahwa lima sila Pancasila tersebut tidaklah berada  dalam  satu  kategori  yang  sama.  Seperti  dijelaskan  Soekarno,  sila Ketuhanan yang Maha Esa,  yang semula ditempatkannya dalam urutan terakhir, sesungguhnya  adalah  pengakuan,  recognition,  dari  Negara  bahwa  rakyat Indonesia adalah rakyat yang ber-Tuhan, yang secara konstitusional diakui dalam Pasal  29 Undang-Undang Dasar  1945. Dalam terminologi instrumen hak asasi manusia dewasa ini, substansi sila pertama ini disifatkan sebagai  non derogable rights (hak asasi yang tidak dapat dikurangi kapanpun, oleh siapapun, dan dalam keadaan apapun). Negara bukan saja tidak dapat dan tidak boleh mencampuri hak atas kebebasan berama,  tetapi juga  harus melindungi seluruh rakyatnya, apapun agama dan kepercayaan yang dianutnya,  tanpa melakukan diskriminasi  apapun juga. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dapat dipahami sebagai pengakuan, perlindungan,  penegakkan,  dan  pemenuhan  hak  asasi  manusia,  yang  menurut Piagam Perserikatan  Bangsa  Bangsa  diartikan  sebagai  common  standards  of  achievements for all peoples and all nations, sebagai tolok ukur kinerja bersama (yang  harus  diwujudkan)  oleh  seluruh  manusia  dan  seluruh  bangsa-bangsa. Sebagai konsekuensinya, seluruh rakyat serta seluruh penyelenggara negara bukan saja harus memahami  secara utuh seluruh instrumen hukum internasional  serta instrumen  hukum  nasional  hak  asasi  manusia,  tetapi  juga  secara  pro  aktif menindaklanjutinya  dalam bidangnya  masing-masing.  Sekedar  sebagai  catatan dapat disampaikan, bahwa instrumen hukum internasional serta instrumen hukum nasional  hak asasi  manusia yang sudah dimiliki oleh Republik Indonesia sudah relatif cukup banyak, sehingga pada dasarnya tidak akan banyak ditemui kesulitan dalam penegakannya, terlebih-lebih oleh karena sejak tahun 1993 telah dibentuk sebuah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Persatuan  Indonesia,  bukan  saja  perlu  dipahami  sebagai  konfirmasi terhadap semangat Hari Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, dan Proklamasi  Kemerdekaan  1945,  tetapi  juga  sebagai  formulasi  dari  semangat
kebangsaan (nasionalisme),  yang ingin membangun masa depan bersama dalam suatu  negara,  apapun  bentuk  serta  sistem pemerintahannya.  Indonesia  pernah menguji  coba  bentuk  negara  kesatuan  atau  bentuk  negara  federal,  sistem pemerintahan  presidensial  atau  sistem pemerintahan  parlementer,  tatanan  yang amat  sentralistik atau tatanan yang sangat  didesentralisasikan.  Bentuk kerajaan serta sistem pemerintahan feodalistis telah ditolak oleh para Pendiri Negara sejak taraf  yang paling awal.  Dewasa ini  disepakati  bahwa bentuk Negara  Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat diubah lagi.
Dalam hubungan  dengan  kemajemukan  rakyat  Indonesia,  pada  tahun 1950-an,  Republik  Indonesia  telah  memilih  sesanti  “Bhinneka  Tunggal  Ika“ dalam Lambang Negara,  suatu penggalan dari kalimat  yang berasal  dari  seloka Mpu Prapanca dalam karangannya “Sutasoma“,  yang artinya:  “walau berbedabeda namun  tetap  satu  jua.  Frasa ini  sekarang  tercantum  dalam Pasal  36A Undang-Undang Dasar 1945, yang perlu dikaitkan dengan keberadaan 1.072 etnik di Indonesia,  menurut Sensus Tahun 2000 (Suryadinata,  2003). Secara implisit, pengakuan  terhadap  kemajemukan  etnik,  agama,  serta  ras  ini  juga  berarti pengakuan  terhadap  demikian  banyak  masyarakat  hukum  adat  (adatrechts gemeenschap, indigenous peoples) serta haknya atas tanah ulayat, yang tercantum dalam Pasal  18B ayat  (2) dan Pasal  28 I ayat  (3) Undang-Undang Dasar  1945 serta Pasal 6 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Kerakyatan  yang  Dipimpin  oleh  Hikmat  Kebijaksanaan  dalam Permusyawaratan/Perwakilan  jelas  merujuk  pada  proses  dan  mekanisme pengambilan keputusan di dalam negara, yang bersifat demokratis. Asumsi paling dasar  dari  sila ini  adalah bahwa sebagai  kekuasaan tertinggi  di  dalam negara, kedaulatan adalah milik seluruh Rakyat Indonesia,  yang dimanifestasikan dalam pemilihan umum berkala.  Mereka yang mendapatkan kepercayaan para pemilih dalam pemilihan  umum tersebut  berperan sebagai  pemegang  amanah  (trustee) dari seluruh rakyat, yang harus melaksanakan amanah tersebut sejujur-sejujurnya dan  seadil-adilnya  sesuai  dengan  sumpah  jabatan  yang  diucapkannya.  Dalam instrumen  hukum internasional  serta  hukum nasional  hak  asasi  manusia, hak rakyat untuk turut serta dalam pemerintahan ini dijamin dalam hak sipil dan hak politik,  yang pokok-pokoknya tercantum dalam The International Covenant on Civil  and Political Rights (1966) yang telah diratifikasi  sebagai Undang-undang Nomor  11 Tahun 2005 Tentang Hak Sipil  dan Politik,  dengan catatan bahwa Republik Indonesia mengadakan reservasi terhadap hak menentukan nasib sendiri yang tercantum dalam Pasal 1 Kovenan tersebut, yang bisa disalahartikan sebagai hak untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia. Keadilan  Sosial  bagi  Seluruh  Rakyat  Indonesia  apapun makna filsafati yang terkandung dalam frasa ini jelas merupakan tujuan yang harus dicapai sertabenchmark untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan kinerja seluruh aparatur penyelenggara negara yang dipimpin oleh Presiden, baik sebagai Kepala Negara maupun sebagai  Kepala Pemerintahan, baik di tingkat  pusat  maupun di tingkat daerah,  baik  oleh  cabang legislatif, eksekutif, atau  yudikatif.  Dalam hukum internasional  dan  hukum  nasional  hak  asasi  manusia, hak  rakyat  untuk memperoleh keadilan sosial ini tercantum dalam hak ekonomi, sosial, dan budaya, yang  pokok-pokoknya  tercantum  dalam  The  International  Covenant  on Economic,  Social,  and Cultural Rights (1966),  yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam The UN Declaration on the Rights to Development (1986), Limburg Principles  on  the  Implementation  of  Economic,  Social,  and  Cultural  Rights (1986), dan The Maastrich Guidelines on the Violations of Economic, Social, and Cultural Rights (1997). Dengan  kata  lain,  dewasa  ini  Republik  Indonesia  sudah  mempunyai demikian  banyak  perangkat  lunak,  baik  dalam bidang  politik  maupun  dalam  bidang  hukum,  yang  dapat  dimanfaatkan  secara  sistematis  dan  formal  untuk menindaklanjuti Pancasila itu ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
II.2. Masalah Keterkaitan antara Sila-sila Pancasila.
Kita  dapat  memahami  betapa  beratnya  tugas  sejarah  yang  diemban  Ir. Soekarno  sebagai  salah  seorang  nation-and  state-builder pada  bangsa  yang bermasyarakat  sangat majemuk seperti  Indonesia.  Beliau harus mengemban dua tugas besar dan berat sekaligus, yaitu :  
1. Memberikan pegangan ideologis yang bersifat inklusif, yang selain dapat memberi  tempat  kepada  kemajemukan  masyarakat  juga  mampu membangun suatu semangat  kebersamaan yang mengatasi  kemajemukanitu, dan
2. Membangun  suatu  struktur  negara  modern  dengan  merumuskan dasar negara yang bisa diterima seluruh kalangan dan lapisan.  Masalah seperti itu kelihatannya tidak dihadapi oleh para nation builders dari rakyat yang secara historis dan kultural  relatif  homogen sehingga bisa merujuk pada filsafat  atau ideologi politik yang sudah lama hidup dalam rakyat  yang dipimpinnya.  Dalam hal  ini Ir.  Soekarno harus membangun bangsa dan negara  practically from scratch.  Tidaklah mengherankan bahwa di sana sini akan terdapat masalah dan kekurangan yang tidak sempat atau belum sempat ditangani beliau dengan baik. Suatu  masalah  yang  belum terlalu  jernih  diselesaikan  yang  nota  bene sangat  diperlukan  dalam  menindaklanjuti  Pancasila  ke  dalam  kehidupanberbangsa dan bernegara adalah menjawab pertanyaan bagaimanakah keterkaitan antara  lima sila itu,  sehingga seluruhnya bisa difahami  sebagai  suatu kesatuan yang utuh. Ir. Soekarno tidak menyelesaikan masalah ini. Beliau hanya menawarkan bagaimana mensimplikasikan  lima  sila  Pancasila  tersebut  menjadi  Trisila dan Trisila menjadi Ekasila, dengan risiko bahwa masing-masing sila kehilangan ciri khas  serta  fungsinya  yang  semula.  Lagi  pula,  keterangan  Ir.  Soekarno  yang berbeda-beda  tentang  Pancasila,  serta  penafsiran  beliau  kemudian  bahwa Pancasila  adalah  marxisme  yang  diterapkan  di  Indonesia  telah  menyebabkan kebingungan banyak pihak, bukan hanya terhadap substansi Pancasila tetapi juga terhadap bagaimana menindaklanjuti  Pancasila tersebut ke dalam struktur serta mekanisme kenegaraan. Setelah dapat mengintegrasikan seluruh sila-sila Pancasila sebagai suatu kesatuan yang utuh dan bergerak dinamis dalam suatu arus pemikiran yang bukan hanya  mencakup  sistem  nilai  tetapi  juga  dimensi  kelembagaannya  dengan menegaskan bahwa Sila Keadilan Sosial setidak-tidaknya merupakan benchmark, kalaulah tidak merupakan core value untuk menguji terwujud tidaknya Pancasila sebagai  Dasar  Negara  tantangan  berikutnya  adalah  menjawab  pertanyaan bagaimana  menjabarkannya  ke  dalam  sistem  kenegaraan  Negara  Kesatuan Republik Indonesia.
II.3. Dimana Letak Kesulitan Penjabaran Pancasila?
Sebuah pertanyaan kecil rasanya perlu diajukan terhadap kenyataan bahwa demikian lama wacana tentang Pancasila ini  hanya berputar-putar  pada tataran yang  amat  abstrak  dan  tidak  dapat  dicari  kaitannya  dengan  mekanisme  serta proses  pembuatan  kebijakan  serta  strategi  pemerintahan  yang  akan melaksanakannya.  Mengapa  Pancasila  yang  sampai  sekarang  masih  diakui sebagai Dasar Negara tidak atau belum dapat ditindaklanjuti secara konsisten dan koheren  ke  dalam  sistem  nasional?  Mengapa  demikian  sulit  menjabarkan orthodoxy Pancasila ke dalam orthopraxis Pancasila? Pertanyaan  ini  mungkin  bukan  hanya  dapat  ditujukan  terhadap  bangsa Indonesia, tetapi juga terhadap bangsa-bangsa Asia pada umumnya. Dalam hal ini saya merujuk pada pertanyaan Mahbubani  (2002) seorang doktor  ilmu filsafat yang berasal  dari  Singapura  yang sangat  menggelitik:  Mampukah Orang Asia Berpikir? Mahbunani  mempertanyakan  mengapa orang  Eropa yang masih terbelakang sewaktu orang-orang Asia sudah mencapai  tingkat  peradaban yang tinggi,  kemudian  bisa  dikalahkan  oleh  orang-orang Eropa  setelah  kebangkitan mereka yang dimungkinkan oleh Renaissance sekitar abad ke-16 serta kemajuan ilmu  pengetahuan  dan  teknologi  sejak  abad  ke-17  dan  18.  Mahbubani memberikan  tiga  kemungkinan  jawaban,  masing-masing  dengan  argumen prokontra. Namun  bagaimanapun,  Mahbubani  menunjukkan  kenyataan  bahwa kemajuan bangsa-bangsa Eropa dimulai  dengan kemajuan dalam cara  berpikir, yang kelihatannya belum berlangsung di Asia pada umumnya,  dan di Indonesia pada khususnya. Mengenai  masalah  ini  Hajime  Nakamura  (1971)  mengingatkan  bahwa terdapat  perbedaan  dalam cara  berfikir  sesama  orang  Asia,  khususnya  antara orang India, Cina, Tibet, dan Jepang. Sayang Nakamura tidak mencantumkan cirri khas cara berpikir orang Arab, yang dari segi geografis sesungguhnya masih dapat disebut sebagai orang Asia. Untuk bangsa Indonesia yang secara cultural sangat dipengaruhi oleh cara berpikir India, perlu kita perhatikan pengamatan Nakamura terhadap beberapa ciri khasnya, yaitu  stress  on  universals,  preference  for  the  negative,  minimizing individuality and specific particularities, the concept of the unity of all things, the static quality of all things, subjective comprehension of personality, subservience to  universals, alienation  from  the  objective  natural  world,  the  introspective  character of Indian thought, the metaphysibal character of Indian thought dan the  spirit  of  tolerance  and  conciliation.  Sungguh  menarik  untuk  mengetahui sampai  berapa  jauhkah  pengaruh  cara  berpikir  India  tersebut  terhadap kecenderungan  mengabstrahir  Pancasila  pada  sisi  yang  satu  dan  untuk menghindari  wacana  pelaksanaannya  pada  sisi  yang  lain.  Untuk  aspek pelaksanaan  ini,  mungkin  kita  perlu  memperhatikan  cara  berpikir  orang  Asia lainnya, yaitu cara berpikir Cina. Nakamura mencatat hal-hal  berikut tentang cara berpikir Cina:  emphasis on the perception of the concrete, non-development of abstract thought, emphasis  on the particular, conservatism expressed in exaltation of antiquity, fondness for complex multiplicity expressed in concrete form, formal conformity, the tendency toward  practicality, individualism, esteem for  hierarchy, esteem  for  nature, reconciling and harmonizing tendencies. Sungguh akan sangat menarik jika dapat disusun dan dikembangkan suatu naskah yang memuat  cara  berpikir  orang  Indonesia  pada  umumnya,  dan cara berpikir suku-suku bangsa Indonesia pada khususnya, untuk memahami pola serta dinamika  kehidupan bermasyarakat,  berbangsa dan bernegara  pada khususnya, yang akan menjadi konteks kultural pelaksanaan Pancasila sebagai dasar negara.
Tidak  dapat  disangkal,  bahwa  suku  bangsa  Indonesia  yang  sangat dipengaruhi oleh kebudayaan India (baca: Hindu) adalah suku bangsa Jawa, dan bahwa perumusan Pancasila sebagai dasar negara dilakukan oleh BPUPKI untuk pulau  Jawa,  yang dipimpin  oleh  Dr  Radjiman  Wedyodiningrat,  salah  seorang tokoh Boedi Oetomo yang sangat bernuansa kultur Jawa. Kelihatannya masih panjang waktu yang harus dilewati  sebelum benar-benar terbentuk suatu cara berpikir  yang benar-benar  Indonesia,  an Indonesian mindset,  yang  dapat  dikembangkan  secara  bertahap  dan  berkesinambungan melalui rangkaian konsensus-konsensus nasional.
BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Suatu masalah dasar yang dihadapi Pancasila sebagai dasar Negara selain berubah-ubahnya  penjelasan  Ir.  Soekarno  sebagai  perumus  pertama  Pancasila sebagai  respons terhadap kondisi  dunia dalam era Perang Dingin adalah belum jernihnya  esensi  substansi,  keterkaitan  antar  sila-silanya,  hubungannya dengan pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945, serta bagaimana format pelaksanaannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Masalah  dasar  tersebut  timbul  sebagai  akibat  interpretasi  yang  amat personalistik,  elitis,  dan  miopik  terhadap  Pancasila,  sehingga  Pancasila  hanya difahami  sebagai  hasil  karya  pemikiran  pribadi  Ir.  Soekarno,  dan  merupakan serangkaian  asas  yang  perlu  dikembangkan  dan  disosialisasikan  oleh  para pemimpin kepada rakyat, serta terbatas pada sejarah Indonesia setelah tahun 1945. Masalah  dasar  tersebut  di  atas  akan  dapat  diselesaikan  dengan menempatkan  Pancasila  secara  historis  sebagai  kristalisasi  dari  perjuangan panjang bangsa Indonesia dalam memerdekakan diri dari penjajahan, membentuk suatu negara  nasional  baru,  serta membangun suatu masyarakat  yang adil  dan makmur  dalam negara  baru  yang dibangun bersama  tersebut.  Oleh karena itu diperlukan  reinterpretasi  serta  rekonstruksi  terhadap  Pancasila  yang memungkinkan Pancasila bisa dipahami secara konsisten dan koheren serta dapat ditindaklanjuti  dalam  konteks  dan  dalam  kerangka  institusional  kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Menjelang  timbulnya  berbagai  wujud  reinterpretasi  dan  rekonstruksi lainnya, saya menawarkan suatu paradigma fungsional Pancasila, yang bertumpu pada kenyataan bahwa lima sila Pancasila tersebut tidaklah berada dalam satu kategori yang sama, dan bahwa kelima sila tersebut dapat dikembangkan menjadi bagian-bagian  dari  suatu  paradigma  yang  fungsional,  dan  sesuai  dengan perkembangan  dan komitmen mutakhir  Republik Indonesia dalam melindungi, menghormati, menegakkan, dan memenuhi hak asasi manusia. Sila pertama, KeTuhanan yang  Maha  Esa  adalah  pengakuan  Negara  terhadap  agama  dan kepercayaan yang dianut oleh Rakyat Indonesia, yang dewasa ini diakui sebagai salah satu non-derogable rights. Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab merupakan landasan bagi dan pengukuhan terhadap berbagai  instrumen hukum  internasional  dan hukum nasional  hak asasi  manusia,  baik hak sipil  dan politik maupun  hak  ekonomi,  sosial,  dan  budaya.  Sila  ketiga,  Persatuan  Indonesia, merupakan pengukuhan terhadap rangkaian panjang proses pembentukan Bangsa Indonesia serta terhadap pembentukan sebuah negara  nasional  Indonesia,  yang memberi tempat kepada seluruh bangsa Indonesia yang bermasyarakat majemuk dari segi ras, etnik, serta golongan. Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat  Kebijaksanaan  dalam Permusyawaratan/Perwakilan  adalah  merupakan penegasan  terhadap  asas  kedaulatan  rakyat  dan  mekanisme  pengambilan keputusan politik. Dan akhirnya, sila kelima Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia,  merupakan  tujuan  akhir  terbentuknya  negara  nasional  Republik Indonesia  yang  merupakan  tolok  ukur  serta  benchmark kinerja  pemerintah. Keterkaitan fungsional  antara lima sila Pancasila tersebut dapat  divisualisasikan dalam sebuah diagram. Dewasa  ini  terdapat  cukup  banyak  kerangka  konseptual  sebagian  di antaranya  sudah  merupakan  program  dan  komitmen  pemerintah  Republik Indonesia  serta  wawasan  baru  dari  kalangan  terpelajar  sendiri  untuk menindaklanjuti  sila  kelima  ini  ke  dalam  kenyataan,  seperti  Millenium Development  Goals  2015,  Prakarsa  Pembangunan  Manusia  Indonesia  (PPMI), Corporate Social Reponsibility, serta Kybernologi.
Ringkasnya, ambiguitas dan ambivalensi terhadap Pancasila dapat diakhiri dengan mengembangkan sebuah paradigma fungsional  terhadap Pancasila,  yang berujung pada Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia sebagai tujuan yang harus  diwujudkan  serta  sebagai  benchmark yang  harus  digunakan  untuk mengukur kinerja pemerintahan pada umumnya serta kinerja presiden dan wakil presiden pada khususnya.